1. Abdullah bin Abu Ishak
Ia belajar al-Qur’an dari Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin Ashim dan belajar nahwu dari Maimun al-Aqran. Dikatakan bahwa ia belajar nahwu dari Yahya bin Ya’mur. Hatim meriwayatkan dari Dawud bin Zibriqah dari Qatadah bin Da’amah ad-Daus, ia berkata:”Orang pertama yang menyusun nahwu setelah Abul Aswad adalah Yahya bin Ya’mur, dan belajar darinya Abdullah bin Abu Ishak.
2. Sibawaih
Adalah Sibawaehi (Nama lengkapnya: ‘Amr ibn Utsman Ibn Qunbar [148-180 H./765-795 M.]) pengarang al-Kitâb yang terkenal itu. Julukannya adalah: “Abu Bisyr” tapi orang banyak mengenalnya: “Sibawaehi”. Dalam bahasa Persia, kata Sibawaehi artinya: harum buah apel.Imam pakar Ilmu Nahwu ini dilahirkan di suatu komunitas besar di kota Baidha’, salah satu kota di propinsi Istikhar, Persia (Iran sekarang).
Dalam umur yang relatif dini, Sibawaehi kecil bersama keluarganya hijrah ke kota Bashrah meninggalkan tanah kelahirannya, Baidha’. Dunia metropolitan Bashrah yang menjadi basis keilmuan Islam saat itu merupakan saksi awal keilmuan Sibawaehi dibangun dan ditata. Di situlah tempat ia menuntut ilmu bersama para ulama-ulama terkemuka di zamanya hingga ajal menjemput di usia yang belum terlalu tua, tahun 180 H. Ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang di kota Ahwaz, Iran.
Hingar-bingar keilmuan Bashrah membuat Sibawaehi kecil kerasan alias beta, dengan tekun ia belajar Hadits dalam halaqah Syeikh Himad ibn Salamah ibn Dinar, salah seorang Muhadist termashur saat itu. Dalam kegigihan itu, Sibawaehi mendapati lahn (kesalahan-ungkap) pada pembelajaran Syeikh ketika membacakan beberapa hadist Nabi. Ia kecewa dengan sang guru. Dirinya bertekat tidak mengulangi kesalahan tersebut (lahn) sebagaimana telah dialami Syeikh Himad. Di sinilah awal Sibawaehi tergiur belajar bahasa Arab agar terhindar dari lahn yang mengjengkelkan itu.
Karya Sibawaih adalah Kitab Sibawaih, tak seorang pun yang tahu kapan penyusunan kitab tersebut. Dalam menyusun kitab ini, Sibawaih banyak mengambil manfaat dari ilmu yang dimiliki Khalil. Sibawaih meriwayatkan dalam kitabnya tentang para ahli nahwu, meskipun tidak jelas apakah dia bertemu mereka atau belajar dari mereka secara lisan, mereka itu adalah Abu Umar bin Ula, Abdullah bin Abi Ishak, Al-Ru’as dan para ahli Kuffah.
Tambahan
Ada dua sumber yang dipakai Sibawaih sebagai argumentasi dalam menguatkan pendapatnya mengenai sebuah persoalan tatabahasa, yaitu puisi Arab dan hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam kitabnya, Sibawaih menggunakan kurang lebih seribu lima ratus bait puisi. Banyak dari puisi-puisi tersebut tidak disebutkan sumbernya, entah karena penciptanya sudah meninggal atau memang tidak diketahui. Karena takut salah, kadang-kadang Sibawaih mencantumkan dua bahkan lebih sumber untuk satu puisi. Puisi-puisi itu ada yang dinyatakan bersumber dari gurunya atau dari pendengarannya sendiri. Syaikh Muhammad ath-Thanthawy menyatakan adanya tiga puluh satu puisi tanpa sumber yang jelas, sedangkan Syaikh ‘Abdul Qadir al-Baghdady menyebut angka lima puluh. Berikut ini kami sampaikan pendapat beberapa ulama terkait puisi-puisi tanpa sumber ini.
1. ‘Uqaibah bin Hubairah al-Asady
مُعَـاوِىَ إِنَّـنَا بَشَـرٌ فَأَسْـجِحْ فَلَسْـنَا بِالْجِـبَالِ وَلاَ الْحَـدِيْـدَ ا
Sibawaih menyatakan bahwa kata الحديدا itu mansub karena ma‘thuf kepada kata الجبال . Kata الجبالitu sendiri mansub, sedangkan ba’ adalah zaidah. ‘Uqaibah menyatakan bahwa Qutaibah menyalahkan pendapat Sibawaih di atas dan kata الحديدا harus dibaca majrur sebagaimana umumnya qasidah puisi Arab. Al-Mubarrad juga mengikuti pendapat Qutaibah ini.
2. Nahsyal bin Hurry
لِيُـبْكَ يَـزِيْدٌ ضَـارِعٌ لِخُصُـوْمَـةٍ وَمُخْتَـبِطٌ مِمَّـا تُطِـيْحُ الطَـوَائِـحُ
Sibawaih menyatakan bahwa kata ضـارع marfu‘ karena merupakan naibul fa‘il yang sudah diketahui dari kata ليـبك . Nahsyal menyampaikan pendapat al-Ushmu‘i yang menyangkal pendapat ini, karena tidak ada na’ibul fa‘il dari fi‘l mahzhuf. Kata يـزيد harus tetap mansub, sedangkan kata ضـارع adalah fa‘il.
3. Al-Akhthal
كُرُّوْا إِلَى حَرَّتَيْكُمْ تَعْمُرُوْنَهَا كَمَا تَكِرُّ إِلَى أَوْ طَانِهَا الْبَقَرُ
Sibawaih menggunakan bentuk di atas untuk orang kedua ketika dia menggunakan bentuk حَرَّتـَيْكُـمْ تَعْـمُرُوْ نَهُـمَا . Al-Akhtal menyampaikan kritik Syaikh Muhammad ath-Thanthawy mengenai bait syair di atas. Bentuk di atas seharusnya digunakan untuk orang ketiga, bukan untuk orang kedua. Bagi ath-Thantawy, Sibawaih seharusnya menggunakan bentuk حَرَّتـَيْهِـمْ يَعْـمُرُوْ نَهُـمَا
Dalam menyusun kitabnya, Sibawaih telah menyusun materi-materi tatabahasa Arab dengan sistematis. Dari satu bagian ke bagian lain terdapat jalinan yang padu sehingga memudahkan para pembaca. Dalam akhir bagian selalu ada epilog yang menyambungkan dengan bagian sesudahnya. Tidak ada pemisahan pembahasan dalam setiap bagian. Pembahasan dalam kitab Sibawaih berdasar pada contoh-contoh asli bahasa Arab agar dapat langsung menentukan antara bentuk kalimat yang benar dan yang salah. Kitab itu sendiri terdiri atas 820 bab. Penyusunan bab-bab itu berbeda dengan umumnya penulis dalam beberapa hal, yaitu:
1. Urutan yang dipakai bukan pembahasan mengenai marfu‘at, kemudian manshubat, dan seterusnya, tetapi pembahasan dimulai dengan pembahasan fa‘il yang bersambung dengan pembahasan maf ‘ul, atau pembahasan mubtada’ yang disambung dengan pembahasan mengenai khabar.
2. Mendahulukan pembahasan yang seharusnya di akhir dan mengakhirkan pembahasan yang seharusnya di awal, misalnya mendahulukan pembahasan musnad ilaih dan baru disambung dengan pembahasan musnad.
3. Membahas dari masalah yang umum ke yang khusus, misalnya membahas tasghir secara umum, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai berbagai macam bentuk tasghir.
4. Beberapa pembahasan dilakukan sampai selesai, misalnya pembahasan mengenai fa‘il dimulai dengan fa’il tanpa maf‘ul, fa‘il dengan satu maf‘ul, dan diakhiri fa‘il dengan dua maf’ul. Pada masa sekarang, pembahasan ini biasanya diletakkan pada pembahasan mengenai fi‘l muta‘adi dan lazim.
5. Kadang-kadang suatu pembahasan berada dalam satu bab, sedangkan pembahasan yang lain berada pada bab yang lain agar mendapatkan kecocokan.
6. Karena belum ada istilah-istilah baku untuk tatabahasa Arab, Sibawaih masih menggunakan kata-kata yang panjang untuk membuat judul suatu bab, misalnya untuk inna wa akhwatuha dia menggunakan kata-kata ‘bab mengenai lima partikel yang berfungsi seperti fi‘l terkait dengan kata-kata sesudahnya’.
Kitab Sibawaih banyak mendapat pujian karena kelengkapannya. Di Basrah, kitab ini adalah kitab pokok ilmu tatabahasa Arab. Akan tetapi, banyak juga orang yang tidak percaya bahwa kitab ini adalah karya Sibawaih sendiri. Mereka mengira Sibawaih mengerjakan kitab ini bersama-sama orang lain. Kitab Sibawaih telah mengalami enam kali cetak. Cetakan pertama di Paris pada tahun 1881, disambung dengan cetakan kedua di Calcutta tahun 1887, cetakan ketiga di Jerman tahun 1895, cetakan keempat di Kairo tahun 1898, cetakan kelima di Baghdad, dan cetakan keenam di Kairo tahun 1966.
3. Al-Akhfasy al-Awsath
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Sa‘id bin Mas‘adah, hamba Bani Mujasyi‘ bin Darim bin Malik bin Hanzhalah bin Zaid Manah bin Tamim. Al-Akhfasy adalah sebutan karena matanya kecil dan penglihatannya lemah. Abu al-Hasan Sa‘id bin Mas‘adah dikenal sebagai “al-Akhfasy al-Shaghir” sedangkan ‘Abdul Hamid bin ‘Abdurrahman dikenal sebagai “al-Akhfasy al-Kabir”. Al-Akhfasy dilahirkan di Balkh, sedangkan riwayat yang lain mengatakan di Khawarizm. Dia datang ke Basrah untuk menuntut ilmu kepada Sibawaih. Al-Akhfasy dikenal sebagai pengikut Mu‘tazilah, walaupun ada yang mengatakan bahwa dia pengikut Qadariyyah-Murji’ah aliran Abu Syimr. Al-Akhfasy adalah teman dekat Sibawaih ketika dia terusir dari Baghdad karena kalah berdebat dengan al-Kisa’iy. Al-Akhfasy adalah sumber utama konsep tatabahasa Arab yang disusun Sibawaih karena tidak ada satu konsep pun dari tatabahasa Sibawaih yang tidak dibaca al-Akhfasy. Al-Kisa’iy sendiri secara rahasia meminta al-Akhfasy untuk membacakan kitab Sibawaih dan memberikan hadiah lima puluh dinar.
Sebenarnya, al-Akhfasy adalah penggagas utama mazhab Kufah. Al-Kisa’iy secara khusus menempatkan al-Akhfasy di sampingnya dengan segala kemuliaan. Al-Akhfasy sendiri adalah guru putra-putra al-Kisa’iy. Banyaknya kemuliaan yang diterima al-Akhfasy di Baghdad mengakibatkan lunturnya semangat Basrah dan mendekatkan dia ke mazhab Kufah. Al-Akhfasy mulai membantah pendapat gurunya, Sibawaih serta al-Khalil, dan membantu para ulama aliran Kufah dalam menyusun mazhab mereka. Al-Akhfasy menunjukkan kepada para ulama Kufah beberapa pendapat berbeda mengenai tatabahasa yang kemudian mereka ikuti. Beberapa pendapat yang diikuti di antaranya:
1. Min jarr za’idah dalam kalimat aktif, misalnya
لَـقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَـأِ الْمُرْسَلِيْـنَ (الأنعام )
2. Pemberlakuan ketentuan inna ketika ditambah ma, misalnya إِنَّمَـا زَيْـدًا قَائِمٌ .
3. Penggunaan tanwin pada kata ثَالِثٌ dan nashb pada kata ثَلاَثَةً dalam frase ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ
4. Penggunaan lam al-ibtida’iyyah pada ni‘ma dan bi’sa, misalnya إِنَّ مُحَمَدًا لَنِعْمَ الرَّجُلِ
5. Marfu‘ pada zharf yang muqaddam, misalnya أَمَامُـكَ زَيْـدٌ .
Al-Akhfasy dikenal sangat cerdas. Para ulama mengakuinya karena banyak sekali kitab yang dia susun, yaitu al-Awsath, al-Maqayis, al-Isytiqaq, al-Masa’il, Waqf at-Tamam, al-Ashwat, Tafsir Ma‘ani al-Qur’anil-Karim, al-Arba‘ah, al-‘Arudh, al-Qawafi, Ma‘anisy-Syi‘r, al-Muluk, dan al-Ghanam: Alwanuha wa ‘Ilajuha. Ada beberapa pendapat mengenai tahun wafatnya al-Akhfasy, yaitu tahun 211 H, 215 H, 221 H, dan 225 H.
4. Al-Mubarrad
Dia bernama Abu al-‘Abbas Muhammad bin Yazid bin ‘Abdul-Akbar bin ‘Umair bin Hasan bin Salim bin Sa‘d bin ‘Abdullah bin Yazid bin Malik bin al-Charits bin ‘Amir bin ‘Abdullah bin Bilal bin ‘Auf bin Aslam bin Achjan bin Ka‘b bin al-Charits bin Ka‘b bin ‘Abdullah bin Malik bin Nashr bin al-Azd bin al-Ghauts. Nama al-Mubarrad diberikan oleh al-Maziny kepada Muhammad bin Mazid dia menyusun kitab “al-Alif wal-Lam”. Dia berguru pada al-Jurmy, al-Maziny, dan as-Sijistany. Al-Mubarrad terkenal kikir karena menganggap bahwa kaya itu disebabkan oleh banyak menyimpan sedangkan miskin itu oleh banyak memberi.
Sebagaimana al-Maziny, al-Mubarrad memprioritaskan perumusan kaidah dengan teknik mendengar langsung (sima‘). Hal ini berbeda dengan Sibawaih. Misalnya dalam hal taskin pada fi‘l mudhari‘ pada puisi:
فَالْيَـوْمَ أَشْرَبْ غَيْـرَ مُسْتَـحْقِب إِثْـمًا مِـنَ اللهِ وِلاَ وَاغِـلِ
Sibawaih memperbolehkan taskin pada kata أَشْرَبْ, sedangkan menurut al-Mubarrad, bacaan yang benar adalah فَالْيَـوْمَ اشْرَبْ. Demikian juga dengan dhamir jarr sebagai ganti dari dhamir raf‘ dalam kata لَـوْلاَكَ seperti dalam puisi:
أَوْمَـتْ بِكَـفَّيْـهَا مِنَ الْهَـوْدَجِ لَـوْلاَكَ هَـذا الْعَـامُ لَمْ أَحْجُـجْ
Menurut al-Mubarrad, bacaan seperti ini salah karena dhamir raf‘ di atas tidak bisa diganti, misalnya dalam ayat: لَوْلاَ أَنْـتُمْ لَكُنَّـا مُـؤْمِنِـيْنَ (سبأ : 31) . Kata di atas seharusnya dibaca لَـوْلاَ أنْتَ bukannya لَـوْلاَكَ . Pendapat yang lain adalah tasghir dari kata إِبْرَاهِيْـم dan إِسْمَاعِيْـل . Menurut Sibawaih, kedua kata di atas menjadi بُرَيْـهِيْـم dan سُمَيْعِيْـل . Adapun menurut al-Mubarrad, kedua kata itu menjadi أُبَيْـرِيْـه dan أُسَيْـمِيْـع karena alif pada kedua kata di atas adalah asli.
Pada masa khalifah al-Mutawakkil, al-Mubarrad pernah dimintai fatwa terkait dengan kata انـها pada ayat
وَمَـا يُشْعِرُكًمْ اَنَّـهَا إِذَا جِـا ءَتْ (الأنعام : 109)
apakah dibaca اَنَّـهَا atau إِنَّـهَا . Permintaan ini terkait dengan perbedaan pendapat antara khalifah dengan al-Fath bin Khaqan. Khalifah dan umumnya ulama membaca dengan اَنَّـهَا. Al-Mubarrad menganggap bacaan itu salah dan menyatakan yang benar adalah إِنَّـهَا. Akan tetapi, al-Mubarrad tidak berani menyatakan hal ini di depan khalifah dan hanya menyembunyikan pendapatnya.
Al-Mubarrad banyak menyusun kitab yang penting, di antaranya: Nasab ‘Adnan wa Qachthan, I‘rabul-Qur‘an, al-Ittifaq wal-Ikhtilaf minal-Qur‘anil-Majid, al-Fadhil, al-Kamil, al-Muqtadhab, al-Isytiqaq, at-Tashrif, al-Madkhal li-Sibawaih, Syarch Syawahidul-Kitab, Ma‘na Kitab lil-Akhfasy, ar-Radd ‘ala Sibawaih, Dharuratusy-Syi‘r, Generasi Nuchatil-Bashriyyin, al-Maqshur wal-Mamdud, dan al-Qawafy. Dia meninggal pada hari Senin tanggal 28 Dzulhijjah 286 H dan dimakamkan di sebuah rumah depan pintu masuk kota yang dibelinya. Al-Mubarrad adalah satu-satunya ulama peride kedelapan dan periode ini memiki kelebihan dibandingkan periode sebelumnya, di antaranya:
a. Menyusun sebuah kitab berdasarkan pendapat sendiri.
b. Menggunakan pendapat ulama terdahulu dalam beberapa pembahasan.
c. Pembahasan dalam bermacam-macam bidang ilmu.
d. Penggunaan metode-metode baru dalam tatabahasa, seperti qiyas, sima‘, ta‘lil, ‘awamil, dan ma‘lumat.
e. Banyaknya diskusi.
TOKOH-TOKOH ALIRAN KUFAH
1. Al-Kisa’i
Nama lengkapnya Abu Hasan Ali ibn Hamzah, berkebangsaan Persia. Sedangkan “al-Kisa’i” merupakan julukan yang diberikan kepadanya. Sebagaimana diriwayatkan bahwa julukan tersebut diperoleh karena beliau menghadiri sebuah majlis Hamzah ibn Habib az-Ziyat dengan memakai baju (كساء) hitam yang mahal. Ketika absent, sang guru pun menyakan ketidakhadirannya kepada hadirin : apa yang telah dilakukan oleh si pemakai baju bagus?. Sejak saat itu, beliau lebih dikenal dengan panggilan al-Kisa’i. Dia lahir di Kufah, pada tahun 119 H dan wafat pada 189 H dalam perjalanannya menuju Tus (sebuah wilayah di Persia).
Al-Kisa’i giat mengikuti beragam majlis qira’ah dengan guru-guru yang beraneka pula. Salah satunya, pembacaan syair yang dipimpin oleh Khalil ibn Ahmad. Hingga akhirnya Al-Kisa’i paham bahwa syair-syair tersebut bersumber dari masyarakat Badui yang bermukim di Hijaz, Nejed dan Tihamah. Untuk memuaskan rasa keingintahuannya, beliau mendatangi masyarakat tersebut dengan menuliskan setiap apa yang didengarnya sehingga menghabiskan 15 botol tinta.
Peran al-Kisa’i dalam Mendirikan Madrasah Kufah
Keseriusannya dalam mempelajari nahwu dan kemudian menuliskannya. Ketika bermukim di Baghad, Al-Kisa’i konsen terhadap perkataan bangsa Arab kota yang bukan tidak mungkin mengandung kesalahan dalam pelafalan yang didengarnya. Al-Kisa’i tidak puas, dari sinilah berawal lahirnya dua madzhab; antara Kufah dan Bashrah, perdebatan antara Sibawaih dan Al-Kisa’i yang terkenal dengan a-Mas’alah az-Zanburiyah. Perdebatan ini dimenangkan oleh Al-Kisa’i dan moment ini menjadi tonggak stabilitas madzhab Kufah. Namun demikian, setelah kematian Sibawaih, Al-Kisa’i pun membaca “Kitab Sibawaih” (satu-satunya buku yang ditulis Sibahwaih), meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi.
Karakterisitik generasi kedua:
a. pembahasan yang mendalam
b. menggunakan siasat untuk meraih pengetahuan; membaca “Kitab Sibawaih” secara sembunyi-sembunyi
c. berdiskusi dengan para tokoh aliran Basrah
d. penulisan dan pembukuan, seperti buku yang ditulisnya: Ma’anil Qur’an, Mukhtashirun fi an-Nahwi, al-Hudud an-Nahwiyah, dan lainnya.
2. Al-Fara’
Nama lengkapnya Abu Zakariya Yahya ibn Ziyad ibn Abdullah ibn Marwan ad-Dailumiy. Lahir di Kufah pada tahun 144 H, berkebangsaan Persia dan meninggal pada tahun 207 dalam perjalanannya menuju Mekkah. Menghabiskan hidupnya dengan mempelajari qira’ah, tafsir, syair dari Abu Bakar ibn ‘Ayyas dan Sufyan ibn ‘Iyyinah. Sedangkan guru bahasa dan nahwunya adalah Abi Ja’far ar-Ru’asiy dan al-Kisa’i Beliau juga seorang murid Al-Kisa’i yang banyak mendapat pengetahuan riwayat mengenai bangsa Arab dari Gurunya
Selanjutnya, beliau juga meneruskan studinya ke Bashrah setelah kematian Khalil ibn Ahmad, yang kemudian posisinya digantikan oleh Yunus ibn Habib. Hingga akhirnya, dia belajar kepada Yunus mengenai nahwu dan bahasa. Adapun karya-karyanya cukup banyak, yang di antaranya adalah: Lughatu al-Qur’an, an-Nawadir, al-Kitaab al-Kabiir fi an-Nahwi, dan lainnya.
3.Tsa’lab
Nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad ibn Yahya ibn Yazid, tetapi terkenal dengan Tsa’lab. Beliau berkebangsaan Persia, namun lahir dan tumbuh di Baghdad. Tahun kelahirannya pada 200 H. Sejak kecil sudah mempelajari berbagai ilmu; membaca, menulis, menghapal al-Qur’an dan sya’ir Arab. Karyanya:
a. Majaalis Tsa’lab; di dalamnya merangkum berbagai pemikirannya tentang nahwu, bahasa, makna al-Qur’an dan syair-syair asing
b. Al-Fashih
c. Qawaaidu asy-Syi’ri
Adapun karyanya yang membahas tentang nahwu adalah:
a. Ikhtilafu an-Nahwiyiin
b. Ma Yansharifu wa ma laa yansharif
c. Haddu an-Nahwi
Karakteristiknya:
a. Pengetahuan yang beraneka ragam; nahwu, bahasa, balaghah dan lainnya
b. Banyaknya penulisan dari berbagai ilmu pengetahuan
Entri Populer
-
1. Abdullah bin Abu Ishak Ia belajar al-Qur’an dari Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin Ashim dan belajar nahwu dari Maimun al-Aqran. Dikatakan ...
-
Ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab) sejak awal perkembangannya sampai sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan para ...
-
A. STUDI NAHWU MAZHAB BASHRAH Bashrah adalah kota perdagangan di pinggir negara-negara Arab . Di ...
-
Dorongan utama dari penyusunan Ilmu Nahwu ini adalah semata-mata untuk membentengi bahasa Arab dari kesalahan-ungkap (lahn) yang pada masa i...
-
Madzhab Andalusia mulai memperhatikan ilmu nahwu pada abad ke-17. Di antara tokoh madzhab Andalusia modern, yaitu: 1). Ibnu al-Hajj - Nam...
-
A. Penamaan Ilmu Nahwu, pengarang dan perkembangannya. Ketika Islam mampu mengembangkan sayapnya ke belahan dunia. Maka, secara otomatis ba...
-
Adalah Sibawaehi (Nama lengkapnya: ‘Amr ibn Utsman Ibn Qunbar [148-180 H./765-795 M.]) pengarang al-Kitâb yang terkenal itu. Julukannya adal...
-
USHUL NAHWU: TOKOH MADZHAB ANDALUSIA MODERN (HAL. 317-326) : "Madzhab Andalusia mulai memperhatikan ilmu nahwu pada abad ke-17. Di anta...
-
Madzhab Basrah atau madrasah Bashrah adalah madzhab yang dirintis oleh ‘Anbasah, salah seorang yang disebut-sebut oleh Khalil bin Ahmad al-F...
-
1. Karena adanya ujaran yang tidak benar Perhatian yang sangat besar untuk melakukan modifikasi bahasa arab menjadi alat komunikasi ya...
tanksmas brow....
BalasHapusma annajah...