Entri Populer

Kamis, 06 Januari 2011

KELAHIRAN ILMU NAHWU

Ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab) sejak awal perkembangannya sampai sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan para pakar linguistik bahasa Arab. Sebagai salah satu cabang linguistik (ilmu lughah), Ilmu Nahwu dapat dipelajari untuk dua keperluan. Pertama,Ilmu Nahwu dipelajari sebagai prasyarat atau sarana untuk mendalami bidang ilmu lain yang referensi utamanya ditulis dengan bahasa Arab, misalnya Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan Ilmu Fiqih. Kedua, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai tujuan utama (sebagai spesialisasi Linguistik bahasa Arab). Dua bentuk pembelajaran (learning) Ilmu Nahwu itu telah menjadi tradisi yang berkembang secara berkesinambungan di kalangan masyarakat Arab (Islam) dahulu sampai sekarang. Hampir semua pakar agama Islam sejak akhir abad kesatu Hijriah sampai sekarang mempunyai penguasaan yang baik terhadap Ilmu Nahwu. Bahkan tidak jarang dari mereka yang menjadi pakar dalam bidang nahwu di samping kepakaran mereka dalam bidang agama. Sebagai contoh, Imam Ibnu Katsir, An-Nawawi, Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Hisyam, dan Az- Zamakhsyari adalah tokoh-tokoh handal dalam bidang ilmu agama, dan pada saat yang sama kepakaran mereka dalam bidang Ilmu Nahwu juga diakui di kalangan ulama. Di Indonesia, tokoh-tokoh agama semisal Syekh Nawawi Banten, Buya Hamka, Prof. Mahmud Yunus, dan K.H. Bisri Musthafa juga mempunyai penguasaan nahwu yang mendalam,bahkan rata-rata mereka telah menulis atau menerjemahkan lebih dari satu judul buku tentang nahwu. Sementara itu, tokoh-tokoh nahwu seperti Imam Sibawaih, Al-Farra', Ibnu Jinny, dan Ibnu Yaisy, lebih dikenal sebagai pakar dalam bidang Ilmu Nahwu. Al-Fadlali (1986) dalam bukunya Mara:kizud-Dira:sat an- Nahwiyyah membagi perkembangan Ilmu Nahwu secara kronologis berdasarkan kurun waktu dan peta penyebarannya. Di bagian akhir bukunya dia membuat skema perkembangan Ilmu Nahwu sebagai berikut

Tabel 1. Peta Perkembangan Ilmu Nahwu
Pusat Perkembangan                                            Abad Hijriah ke
Bashrah, Mekah, Medinah
Kufah, Baghdad, Mushal, Irbal, Andalus                    1
Marocco, Persi                                                             2
Mesir                                                                              3
Damaskus, Haleb                                                         4
Nejed, Yaman                                                                5
Hulah, Eropa                                                                  6
India                                                                                7
Romawi                                                                          8  
Rusia, Amerika, Afrika non-Arab                               14

Dari peta di atas tampak bahwa Al-Fadlali tidak memasukkan negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia dalam peta perkembangan nahwu. Padahal bagaimanapun juga di negara-negara itu perkembangan nahwu cukup pesat. Di samping itu, ia juga tidak mengemukakan alasan mengapa ia langsung melompat dari abad ke 8 menuju abad ke14 dengan mengabaikan lima abad yang ada di antaranya. Namun, terlepas dari kekurangannya, bagan tersebut cukup berarti dalam
memberikan gambaran secara global tentang peta perkembangan Ilmu Nahwu. Sementara itu, Dlaif (1968) membagi perkembangan Ilmu Nahwu berdasarkan aliran-aliran (madzhab) dengan menyebutkan sejumlah tokoh yang dominan pada setiap aliran. Ia menyebutkan secara kronologis lima aliran nahwu sebagai berikut.
(1) aliran Bashrah,
(2) aliran Kufah,
(3)aliran Baghdad
(4) aliran Andalusia, dan
(5) aliran Mesir.

Dua aliran pertama, Bashrah dan Kufah, disebutnya sebagai aliran utama, karena keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang tinggi, kedua aliran tersebut juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik, sehingga mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya. Adapun tiga aliran yang lain disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah satu aliran utama atau merupakan hasil paduan antara keduanya. Di Indonesia, sejalan dengan perkembangan agama Islam, Ilmu Nahwu juga banyak dipelajari. Akan tetapi, pembelajaran nahwu di Indonesia lebih banyak sebagai alat (untuk mempelajari bahasa Arab) dan bukan sebagai tujuan. Karena itu, referensi yang banyak dipelajari adalah buku-buku yang bersifat praktis dan textbook oriented yang substansinya mengacu pada peran nahwu sebagai alat bantu pembelajaran agama (Islam), sementara buku-buku yang bersifat historis teoretis cenderung kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika referensi nahwu yang banyak ditemukan di pesantren-pesantren maupun di kalangan perguruan tinggi Islam adalah buku-buku semacam Al- Ajrumiyyah dengan berbagai syarah1-nya, Alfiyah Ibnu Malik dengan berbagai syarahnya, dan Al-'Umrithiy. Sementara, buku-buku yang banyak menyinggung aspek historis seperti Sirru Shina'atil I'rab karya Ibnu Jinny, Al-Mazhar karya Jalaluddin Assuyuthi, dan Mizanudz Dzahab karya Ibnu Hisyam kurang populer. Bagi para linguis bahasa arab, atau pemerhati Ilmu Nahwu pada khususnya, pembelajaran nahwu dari perspektif sejarah merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan, karena dengan itu cakrawala mereka tentang dinamika Ilmu Nahwu menjadi lebih luas dan pada akhirnya dalam diri mereka akan tumbuh toleransi yang tinggi terhadap perbedaanperbedaan yang ada. Selain itu, karya-karya monumental para pakar Ilmu Nahwu sejak abad permulaan sampai pertengahan abad 20 M itu ada khazanah yang terlalu mahal untuk disia-siakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar