Entri Populer

Sabtu, 08 Januari 2011

PERKEMBANGAN ILMU NAHWU

Dorongan utama dari penyusunan Ilmu Nahwu ini adalah semata-mata untuk membentengi bahasa Arab dari kesalahan-ungkap (lahn) yang pada masa itu mulai menular serta merusak “edisi” Arab fusha.
Dengan dilema yang ada, maka para ulama merasa khawatir atas keautentikan bahasa Arab yang akan berimplikasi pada pengkontaminasian cara membaca dan memahami al-Qur’an. Keprihatinan ini amatlah wajar sebab, sebelum bahasa Arab terjangkit lahn, masyarakat Arab sendiri sudah mendapat masalah internal dalam ketatabahasaan: mereka terbagi ke dalam klan (suku) yang bermacam-macam, tiap klan memiliki bahasa yang berbeda-beda antara satu dan yang lain. Upaya menyatukan bahasa menduduki urutan penting pertama sebelum memerangi virus lahn yang datang setelah agenda penaklukan (Arab: al-futûhât).
Atas perintah Khalifah Ali ibn Abi Thalib, Abu al-Aswad al-Duali (Nama lengkapnya: Dhalim ibn ‘Amru ibn Sofyan ibn Hambal ibn Jundl ibn Sulaiman ibn Hils al-Duali al-Kinnani [1 SH-69 H/605-688 M]) berjuang untuk menyusun kaidah-kaidah dasar bahasa Arab yang akan menjadi rujukan di kala terjadi kesalahan-ungkap tersebut.
Meski para sarjana bahasa berbeda pendapat tentang Abu al-Aswad sebagai peletak dasar Ilmu Nahwu. Namun tidak boleh dilupakan bahwa di sana banyak sekali pendapat yang menguatkan keabsahannya sebagai pioner Ilmu Nahwu (Arab: wâdhi`-u `Ilm al-Nahw-i) itu sendiri, seperti disinggung dengan bagus oleh Ahmad Amien, bahwa Ibn Qutaybah dalam kitab al-Ma’ârif mengafirmasi posisi Abu al-Aswad sebagai orang: “Yang pertamakali meletakkan dasar pondasi Nahwu”, Ibn Hajar pun dalam kitab Fî al-Ishâbah mengutarakan hal yang senada: “Orang yang pertamakali memberikan “titik” di mushaf dan meletakkan pondasi Nahwu adalah Abu al-Aswad.
Inovasi yang digagas oleh Abu al-Aswad ini, lambat-laun, kemudian disambut hangat oleh para penduduk Arab dikala itu. Maka tak heran jika ilmu ini berkembang begitu pesatnya sehingga melahirkan banyak generasi mahir di bidang ilmu Bahasa Arab.
Setelah Abu al-Aswad wafat, dua muridnya yaitu: Nashr ibn Ashim al-Laitsi (Wafat 89 H) dan Yahya ibn Ya’mur (Wafat 129 H) langsung siagap mengambil tongkat estafeta gurunya dalam mempelopori perkembangan bahasa Arab dari masa ke masa. Selang beberapa tahun kemudian, setelah kematian murid-murid Abu al-Aswad, munculah seorang ulama popular yang karya agungnya menjadi disiplin ilmu terkenal dalam sastra arab yaitu: Khalil ibn Ahmad al-Farahidi. Estafeta Khalil ini melahirkan murid brilian, Sibawaehi, dengan karya besarnya: “al-Kitâb”.
Lagi-lagi di sini menarik sekali menyelipkan argument Ahmad Amien, bahwa Sibawaehi tercatat sebagai murid Khalil ibn Ahmad al-Farahidi, pengarang kitab “Mu’jam al-Ayn”, darinya pula ia belajar gramatika bahasa Arab dengan benar. Ahmad Amien memuji Khalil telah memberi sumbangsih banyak dalam memperkaya khazanah Nahwu, tapi herannya selepas al-Kitâb Sibawaehi muncul pamor nomer satu Khalil merosot. Malah, seperti amatan Ahmad Amien, dalam kitab al-Zubaidi Mukhtasar Kitâb al-`Ain misalnya, menyebut al-Kitâb karya Sibawaehi telah melumpuhkan kitab-kitab Nahwu sebelumnya dan mematahkan kitab-kitab Nahwu yang datang setelahnya. Ini adalah isyarat bahwa peran Sibawaehi sudah melampaui gurunya sendiri.
2. Polemik ahli nahwu basrah dan kuffah
Sejarah mencatat bahwa formulasi gramatika bahasa Arab tidak berjalan mulus apa adanya, di sana ada pergolakan yang akut. Kiranya tiga kota besar: Bashrah, Kuffah dan Baghdad, patut diperhitungkan untuk meninjau kasus polemik ilmu Nahwu.
Di antara tiga kota besar itu adalah Bashrah dan Kuffah yang banyak mewarnai polemik pembahasan ilmu bahasa Arab. Faktor penyebabnya tiada lain karena kedua kota tersebut sama-sama memiliki ulama ahli bahasa andalan. Bashrah memiliki pakar bahasa sekaliber Khalil ibn Ahmad al-Farahidi dan Sibawaehi, sedangkan di Kuffah, sejak munculnya Abu Ja’far al-Ruasi kemudian disusul dua orang muridnya: al-Farra’ dan al-Kisa’i, tercatat menjadi lawan (oposan) bagi ulama bahasa Bashrah.
Penting diketahui bahwa imbas perbedaan ulama Bashrah dan Kuffah, dengan sendirinya, membuat Mazhab pemikiran keduanya berbedah drastis. Aliran Bashrah berpijak pada qiyas karena terpengaruh pada logika Yunani yang kuat waktu itu, sedangkan Kuffah lebih tergiur pada pendengaran (sama’ie).
Sementara itu kegiatan mengembangkan bahasa di Bahsrah dan Kuffah semakin sistematis, masing-masing dari dua kubu tersebut memiliki sebuah majlis khusus bagi pecinta bahasa maupun syi’ir. Majlis hanya digunakan untuk mengkaji, mendalami, dan meningkatkan bakat bahasa Arab. Kelompok ini kemudian dikenal dengan “madrasah”. Dalam perkembangannya, Bashrah telah mendirikan madrasahnya jauh lebih lama daripada Kuffah, dengan selisih 100 tahun lamanya. Di Bashrah nama madrasah itu “Ukadz” yang berdiri sejak zaman jahiliyah, sementara nama madarasah di Kuffah adalah “al-Naqasyah”.
Dalam mempelajari ilmu tata Bahasa Arab, prioritas yang harus diutamakan adalah Ilmu Nahwu dan Ilmu Sharf sebagaimana kata sebagian ulama: إعلم أن الصرف أم العلوم والنحو أبوها Ilmu Sharf diasumsikan induk segala ilmu, sebab ilmu inilah yang dapat melahirkan semua bentuk kalimat, sedangkan kalimat-kalimat itu menjadi petunjuk segala ilmu. Adapun Ilmu Nahwu diasumsikan sebagai bapaknya karena ilmu inilah yang mengatur susunan kalimat tersebut.

1 komentar: